Pemilu dan Teori Ekonomi Politik
Jeffry Liando (ex Anggota PPLN Wellington Selandia Baru 2009 dan 2014)
Pemilu (Pemilihan Umum) adalah aksi dimana rakyat memilih secara politis.
Rakyat yang tidak (mau) memilih atau golput tidak akan masuk dalam pembahasan
saya, karena mungkin mereka tidak mau terlibat secara politis. Hal ini berarti
memberikan batasan (limitation) terhadap pembahasan saya, dan bisa
dikategorikan sebagai deviasi atau "error". Mungkin ada batasan lainnya
seperti pilihan random dan pilihan yang dipengaruhi.
Saya mulai pembahasan ini dengan konsep choice atau pilihan. Konsep ini
popular dan mendasar dalam teori ekonomi yang lebih dikenal dengan rational
choice theory, yang bisa diartikan bahwa seseorang dengan mempertimbangkan
biaya dan manfaat terhadap suatu barang akhirnya memutuskan untuk memilih
barang tersebut. Berarti secara rasional individu itu memilih barang dengan
biaya semurah mungkin dengan manfaat sebesar mungkin.
Namun kemudian biaya tidak menjadi masalah karena partai politik (parpol) dan
calon legislatif (caleg) dalam Pemilu bukan barang yang mengeluarkan biaya.
Biaya yang mungkin dikeluarkan boleh jadi berbentuk biaya kesempatan
(opportunity cost) karena kehilangan manfaat, aspirasi atau tujuan pribadi
yang tidak tercapai. Dan juga biaya eksternal (externality) karena kemenangan
mayoritas akan merugikan kekalahan minoritas dalam implementasi kebijakan.
Biaya kesempatan yang mungkin terjadi adalah realita dimana seseorang memiliki
preferensi terhadap 2 atau lebih parpol yang akhirnya harus memilih satu
parpol agar suara menjadi valid. Perlu diingat bahwa individu ini berupaya
untuk menentukan pilihan dan tidak menjadi golput sementara manfaat yang ingin
dicapai (desire) tersalurkan dalam lebih satu parpol.
Dalam kerangka politik, individu pastinya akan berkelompok karena kenyataannya
setelah diumukan KPU bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdapat 170 juta lebih
individu yang akan memilih hanya 38 parpol. Berarti disini kita mengarah ke
sikap dan perilaku pemilihan publik bukan individu lagi.
Yang menarik dari sikap dan perilaku ini adalah kepentingan individu (dari
desire individu) berkembang menjadi kepentingan umum (publik). Berarti
kepentingan individu akan secara kolektif menjadi suatu agregasi kepentingan
individu. Contoh simpel agregasi dalam ekonomi adalah pendapatan pribadi yang
dikumpulkan menjadi pendapatan domestik bruto (GDP).
Parpol apapun yang menang dalam Pemilu akan secara potensial menyebabkan biaya
eksternal yang besar dari parpol yang tidak menang karena keputusan tersebut
memerlukan persetujuan super mayoritas individu atau publik dalam suatu
sistem.
Contohnya yang jelas dalam Pemilu adalah salah satu parpol akan mendapat suara
tertinggi dan mayoritas, sementara parpol yang lain akan mendapat suara lebih
rendah. Walaupun kita asumsikan terjadi koalisi, parpol-parpol yang berada
dalam koalisi yang kalah atau kurang dari mayoritas akan mengeluarkan biaya
eksternal.
Apa sih biaya eksternal itu? Biaya eksternal yaitu biaya yang dikeluarkan oleh
parpol/koalisi yang kalah karena kerugian yang diperoleh akibat dari keputusan
atau kebijakan parpol yang menang yang nantinya akan merugikan parpol/koalisi
yang kalah.
Teori ini disimpulkan dari teori pilihan publik, Buchanan dan Tullock dalam
bukunya The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional
Democracy (1962). Kalau diartikan diartikan secara kasar dalam Bahasa
Indonesia adalah Kalkulus Persetujuan: Dasar Logis dari Demokrasi yang
Konstitusional. Haha... untuk yang suka Kalkulus waktu SMA/kuliah dan yang
suka politik praktis waktu kuliah tentu akan tertarik untuk membeli buku ini.
Click here to download >>>
Sekarang kita ambil salah satu contoh kebijakan khayalan, misalnya kebijakan
umur pensiun 65 tahun dan dwi kewarganegaraan. Setelah Pemilu, parpol/koalisi
yang menang menjebolkan UU tentang kebijakan tersebut. Tentunya yang rugi
adalah parpol/koalisi yang kalah yang tidak menjebolkan UU tersebut karena
memang bukan menjadi suatu aspirasi atau inspirasi yang ditawarkan kepada para
pemilihnya. Walaupun demikian, proses demokrasi dalam Pemilu dapat dikatakan
berjalan lancar, cuma ada aspirasi yang tercapai dan tidak tercapai.
Sekarang muncul masalah aspirasi dan desire yang ingin dicapai. Tema pendukung
pemilu kali ini kebetulan salah satunya adalah "Kenalilah dan pilih caleg yang
peduli pada aspirasi dan inspirasi rakyat."
Saya mencoba mengambil konsep keuangan untuk membahas hal ini, yaitu Hipotesis
Efesiensi Pasar (Market Efficiency Hypothesis). Konsep ini bisa diartikan
bahwa harga di pasar keuangan ditentukan dengan informasi yang diterima oleh
pelaku pasar terhadap suatu produk. Jadi, kalau informasi yang diperoleh jelek
dan tidak sesuai, maka produk tersebut cenderung memiliki harga yang rendah,
dan begitu juga sebaliknya.
Mudah saja diartikan apabila dikaitkan dengan Pemilu, yaitu bahwa kalau
informasi yang diperoleh terhadap suatu parpol dan calegnya tidak sesuai
dengan aspirasi dan inspirasi calon pemilih, maka parpol dan caleg tersebut
tidak akan dipilih.
Bagaimana Pemilu bisa menjadi efisien? Cara satu-satunya adalah seorang calon
pemilih perlu mengorek informasi sebanyak mungkin terhadap visi, tujuan,
agenda dan profil caleg suatu parpol sedemikian rupa sehingga calon pemilih
dapat mencocokan dengan aspirasi, inspirasi, manfaat dan desire-nya. Hal ini
dapat diperoleh melalui kampanye-kampanye yang dilakukan atau secara suka rela
melakukan observasi terhadap suatu parpol dari media massa atau media
internet.
Kalau akhirnya pilihannya menjadi suatu pilihan yang acak (random) atau yang
tidak sesuai dengan aspirasi dan inspirasi, maka ada kemungkinan Pemilu
menjadi tidak efisien dan boleh jadi menghasilkan suatu agenda baru yang
mengambang, tidak aspiratif dan inspirasional.
Apabila kita formulasikan sebagai berikut: Y = f(X1, X2,... X3), dimana y =
pilihan parpol dan x = variable parpol yang diobservasi (misalnya Profil
Caleg, Asas, Visi, Tujuan, informasi lainnya), maka secara jelas dan logis
pilihan individu dapat ditentukan sesuai dengan aspirasi, inspirasi, manfaat
dan desire. Ada kemungkinan fungsi ini menjadi Ya = f(Xa1, Xa2,... Xa3) dan Yb
= f(Xb1, Xb2,... Xb3), apabila pilihan menjadi lebih dari satu atau
multi-variasi, hmmmm... ;-).
Partai politik peserta Pemilu 2024 dan nomor urut:
1. Partai Kebangkitan Bangsa www.PKB.id
2. Partai Gerakan Indonesia Raya www.partaigerindra.or.id
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan www.pdiperjuangan.id
4. Partai Golkar www.partaigolkar.com
5. Partai Nasdem www.nasdem.id
6. Partai Buruh www.partaiburuh.or.id
7. Partai Gelombang Rakyat Indonesia www.partaigelora.id
8. Partai Keadilan Sejahtera www.PKS.id
9. Partai Kebangkitan Nusantara www.pimnas-pkn.id
10. Partai Hati Nurani Rakyat www.partaihanura.or.id
11. Partai Garda Perubahan Indonesia www.partaigaruda.org
12. Partai Amanat Nasional www.pan.or.id
13. Partai Bulan Bintang www.partaibulanbintang.or.id
14. Partai Demokrat www.demokrat.or.id
15. Partai Solidaritas Indonesia www.PSI.id
16. Partial Perindo www.partaiperindo.com
17. Partai Persatuan Pembangunan www.PPP.or.id
24. Partai Ummat www.partaiummat.id
Catatan: nanti diperiksa baik-baik Daftar Caleg Tetap dan juga klasifikasi
Asas Partai Politik apakah lebih berat ke:
- Pancasila (parpol no ?)
- Agama (parpol no ?)
- Keadilan, Demokrasi, Kemajemukan, Pancasila (parpol no ?)
- UUD 45 & Pancasila (parpol no ?)
- Marhaenisme (parpol no ?)
- Nasionalisme (parpol no ?)